Semak belukar
dengan berbagai variant tumbuh subur, mengakar, menyatu menjadikan koloni
hijau, sumber makanan bagi ribuan mahluk hidup. Menciptakan tempat perlindungan
bagi ratusan, ribuan bahkan jutaan spesies yang terlihat maupun kasat mata,
baik mahluk hidup ataupun mahluk halus (mungkin).
Pagi, cahaya
fajar menerobos melalui celah-celah dedaunan, burung-burung yang bersembunyi
dari selimut embun menusuk tulang, perlahan bangkit merapikan bulu-bulunya yang
kusut, meregangkan badan, kemudian bernyanyi riang penuh keceriaan.
Dan inilah
waktunya, senajis apapun ia didoktrinkan, seharam apapun ia disangkakakan,
induk babi tetaplah mempunyai jiwa keibuan. Mereka membawa serta anak-anaknya
untuk mencari makan, membimbing, melindungi dan mengajarinya cara-cara
berkehidupan. Sialnya, kami segerombolan anak-anak yang mengasosiasikan diri
sebagai pahlawan seperti yang acara televisi gambarkan, seringkali
menjadikannya sebagai sasaran serangan percobaan. Doktrin najis dan haram yang kami
telan semenjak kami mengenal bahasa, membuat kami beranggapan setiap babi yang
terlihat harus dibinasakan atau minimal diusir jauh sejauh mereka bisa berlari
melindungi diri. Batu-batu berserakan dan potongan-potongan dahan kami jadikan
senjata. Kami bidik satu persatu babi-babi itu, kami rusak, kami bakar dan kami
cerai beraikan induk dari anak-anaknya.
Iya, kami memang
sadis dan jahat pada waktu itu. Mirip teroris yang seenak jidat menghabiskan
nyawa-nyawa tak berdosa, menceraiberaikan keluarga, memporakporandakan sebuah
tatanan hanya karena doktrin kafir, najis dan haram. Maklumlah, saat itu kami
ngaji hanya hafalan, jangankan arti, huruf hijaiyahpun kami belum tahu.
Bukit sendaren
adalah tempat kami belajar. Disana ada makanan bagi kambing-kambing yang kami
pelihara di rumah. Sejak pagi hingga siang menjelang sore, kami menghabiskan
waktu mengumpulkan rumput dan dedaunan. Diselingi canda tawa dan banyolan yang
menjurus kasar bahkan terkadang keluar bahasa-bahasa erotis, kami belajar
tanggungjawab. Setiap anak di kampung kami bertanggung jawab atas hewan
peliharaan masing-masing. Yang pelihara burung bertanggung jawab mencari buah
semak belukar, jangkrik dan belalang, yang punya kambing diwajibkan mencari
rumput setiap hari, kecuali yang pelihara ayam, mereka tidak diwajibkan
mencari, karena bahan makanan telah tersedia dari makanan sisa kami di rumah. Prinsipnya,
setiap hewan peliharaan harus terjamin kesejahteraannya.
Pada musim
tertentu, khususnya musim liburan, bukit sendaren adalah panggung bagi sebuah
konser baling-baling tradisional yang kami sebut sebagai "ketiran".
Pemenang ditentukan dari seberapa besar ukuran, bunyi yang dihasilkan dan
klimaksnya adalah saat angin begitu besar, baling-baling berputar sangat
kencang, dan kami hentak, seketika menghasilkan suara gemuruh. Sialnya, sebagai
salah satu kontestan, aku adalah kontestan yang buruk. Aku sering ditertawakan
karena bukan gemuruh yang dihasilkan, melainkan suara memalukan seperti kentut
sebagai klimaks yang tidak aku harapkan. Ah,...
Bukit sendaren
bukan sekedar arena bermain. Dari akar-akar rerimbun belukar itu, menghasilkan
air sumber kehidupan. Mengalir jauh membuat genangan-genangan kecil, terkumpul
dan membuncah menciptakan air terjun yang menari indah. Ribuan spesies
bergantung kepadanya. Lumut, ganggang, kodok, ikan, udang adalah sebagiannya.
Dan di saat kemarau melanda, dari mata air inilah kami menyandarkan kehidupan
melalui selang-selang air yang berserakan.
Seiring berganti jaman, kami tumbuh
dengan takdirnya sendiri-sendiri. Kebersamaan kami sebagai sebuah genk kecil
harus berakhir. Mimpi mengharuskan kita memilih jalan yang kita yakini, pun
demikian, aku memilih jalan petualangannya sendiri, merantau ke negeri orang.
Betapapun indahnya negeri seberang, tidaklah akan terlupakan tanah kelahiran.
Setahun sekali aku pulang. Di sela kewajiban silaturahmi dengan orang tua dan
sanak family, melihat gunung sendaren sering aku lakukan. Bukan sekedar
bernostalgia, melainkan mencoba merangkai cerita lama sebagai bahan dongeng
anak cucuku kelak.
Perubahan memang sebuah keniscayaan, 16 tahun berlalu
setelah aku tinggalkan, bukit sendaren kini telah berubah. Semak belukar
berganti warna warni tenda camping, rerimbun hijau daun kini menjelma jadi
saung-saung memanjakan para pendatang. Tak terdengar nyanyian burung-burung
nyaru dan kalah bising dengan jeritan gadis-gadis cantik berpakaian sexy,
tertutup gelak tawa pemuda-pemuda ganteng penikmat kebebasan. Memang, tidak ada
yang perlu disesali dari sebuah perubahan. Tetapi perubahan hendaknya diimbangi
dengan sebuah pemikiran. Tidak sekedar berpikir soal profit yang didapat,
melainkan seberapa besar perubahan itu dapat bermanfaat. Bermanfaat bagi
lingkungan sekitar bukan hanya bagi yang punya kepentingan.