Minggu, 15 Mei 2016

Bukit Sendaren Riwayatmu Kini





















Semak belukar dengan berbagai variant tumbuh subur, mengakar, menyatu menjadikan koloni hijau, sumber makanan bagi ribuan mahluk hidup. Menciptakan tempat perlindungan bagi ratusan, ribuan bahkan jutaan spesies yang terlihat maupun kasat mata, baik mahluk hidup ataupun mahluk halus (mungkin).

Pagi, cahaya fajar menerobos melalui celah-celah dedaunan, burung-burung yang bersembunyi dari selimut embun menusuk tulang, perlahan bangkit merapikan bulu-bulunya yang kusut, meregangkan badan, kemudian bernyanyi riang penuh keceriaan.

Dan inilah waktunya, senajis apapun ia didoktrinkan, seharam apapun ia disangkakakan, induk babi tetaplah mempunyai jiwa keibuan. Mereka membawa serta anak-anaknya untuk mencari makan, membimbing, melindungi dan mengajarinya cara-cara berkehidupan. Sialnya, kami segerombolan anak-anak yang mengasosiasikan diri sebagai pahlawan seperti yang acara televisi gambarkan, seringkali menjadikannya sebagai sasaran serangan percobaan. Doktrin najis dan haram yang kami telan semenjak kami mengenal bahasa, membuat kami beranggapan setiap babi yang terlihat harus dibinasakan atau minimal diusir jauh sejauh mereka bisa berlari melindungi diri. Batu-batu berserakan dan potongan-potongan dahan kami jadikan senjata. Kami bidik satu persatu babi-babi itu, kami rusak, kami bakar dan kami cerai beraikan induk dari anak-anaknya. 

Iya, kami memang sadis dan jahat pada waktu itu. Mirip teroris yang seenak jidat menghabiskan nyawa-nyawa tak berdosa, menceraiberaikan keluarga, memporakporandakan sebuah tatanan hanya karena doktrin kafir, najis dan haram. Maklumlah, saat itu kami ngaji hanya hafalan, jangankan arti, huruf hijaiyahpun kami belum tahu.

Bukit sendaren adalah tempat kami belajar. Disana ada makanan bagi kambing-kambing yang kami pelihara di rumah. Sejak pagi hingga siang menjelang sore, kami menghabiskan waktu mengumpulkan rumput dan dedaunan. Diselingi canda tawa dan banyolan yang menjurus kasar bahkan terkadang keluar bahasa-bahasa erotis, kami belajar tanggungjawab. Setiap anak di kampung kami bertanggung jawab atas hewan peliharaan masing-masing. Yang pelihara burung bertanggung jawab mencari buah semak belukar, jangkrik dan belalang, yang punya kambing diwajibkan mencari rumput setiap hari, kecuali yang pelihara ayam, mereka tidak diwajibkan mencari, karena bahan makanan telah tersedia dari makanan sisa kami di rumah. Prinsipnya, setiap hewan peliharaan harus terjamin kesejahteraannya.

Pada musim tertentu, khususnya musim liburan, bukit sendaren adalah panggung bagi sebuah konser baling-baling tradisional yang kami sebut sebagai "ketiran". Pemenang ditentukan dari seberapa besar ukuran, bunyi yang dihasilkan dan klimaksnya adalah saat angin begitu besar, baling-baling berputar sangat kencang, dan kami hentak, seketika menghasilkan suara gemuruh. Sialnya, sebagai salah satu kontestan, aku adalah kontestan yang buruk. Aku sering ditertawakan karena bukan gemuruh yang dihasilkan, melainkan suara memalukan seperti kentut sebagai klimaks yang tidak aku harapkan. Ah,... 

Bukit sendaren bukan sekedar arena bermain. Dari akar-akar rerimbun belukar itu, menghasilkan air sumber kehidupan. Mengalir jauh membuat genangan-genangan kecil, terkumpul dan membuncah menciptakan air terjun yang menari indah. Ribuan spesies bergantung kepadanya. Lumut, ganggang, kodok, ikan, udang adalah sebagiannya. Dan di saat kemarau melanda, dari mata air inilah kami menyandarkan kehidupan melalui selang-selang air yang berserakan.

Seiring berganti jaman, kami tumbuh dengan takdirnya sendiri-sendiri. Kebersamaan kami sebagai sebuah genk kecil harus berakhir. Mimpi mengharuskan kita memilih jalan yang kita yakini, pun demikian, aku memilih jalan petualangannya sendiri, merantau ke negeri orang. Betapapun indahnya negeri seberang, tidaklah akan terlupakan tanah kelahiran.

Setahun sekali aku pulang. Di sela kewajiban silaturahmi dengan orang tua dan sanak family, melihat gunung sendaren sering aku lakukan. Bukan sekedar bernostalgia, melainkan mencoba merangkai cerita lama sebagai bahan dongeng anak cucuku kelak.

Perubahan memang sebuah keniscayaan, 16 tahun berlalu setelah aku tinggalkan, bukit sendaren kini telah berubah. Semak belukar berganti warna warni tenda camping, rerimbun hijau daun kini menjelma jadi saung-saung memanjakan para pendatang. Tak terdengar nyanyian burung-burung nyaru dan kalah bising dengan jeritan gadis-gadis cantik berpakaian sexy, tertutup gelak tawa pemuda-pemuda ganteng penikmat kebebasan. Memang, tidak ada yang perlu disesali dari sebuah perubahan. Tetapi perubahan hendaknya diimbangi dengan sebuah pemikiran. Tidak sekedar berpikir soal profit yang didapat, melainkan seberapa besar perubahan itu dapat bermanfaat. Bermanfaat bagi lingkungan sekitar bukan hanya bagi yang punya kepentingan.